Thursday, December 1, 2011

Sertifikasi Guru: Jaminan Profesionalisme Guru?

Dengan disahkannya Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesi guru dan dosen telah dan terus menjadi perhatian dikalangan banyak pihak, baik yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan maupun dikalangan pemerhati pendidikan. Bagaimana tidak? Kehadiran undang-undang tersebut telah menambah wacana baru akan dimantapkannya hak-hak dan kewajiban bagi guru dan dosen. Di antara hak yang paling ditunggu-tunggu selama ini adalah adanya upaya perbaikan kesejahteraan bagi guru dan dosen. Namun sayangnya, kehadiran undang-undang ini masih menemui banyak kendala dalam implementasinya. Terbukti terus terjadi perubahan dan inconsistency peraturan dalam penyelenggaraan sertifikasi guru.

Di tahun pertama (2007) penyelenggaraan sertifikasi dilakukan melalui penilaian portofolio (pengakuan atas pengalaman profesioal guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan), kemudian berganti melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) dan terakhir berkembang informasi akan berubah lagi melalui jalur Pendidikan Profesi Guru (PPG) terutama bagi mereka yang belum menjadi guru pada saat Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 disahkan yaitu per tanggal 30 Desember 2005.

Hal ini tidak sesuai dengan alur pelaksanaan sertifikasi sebagaimana disebutkan di pasal 5 s/d pasal 10 dalam Permendikas No. 11 Tahun 2011 tentang sertifikasi guru dalam jabatan. Guru dalam jabatan yang memilih sertifikasi melalui penilaian portofolio dan tidak lulus dalam tes awal ataupun belum memenuhi syarat kelulusan akademik penilaian portofolio, harus mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG), sedangkan sertifikasi bagi guru dalam jabatan melalui pendidikan profesi guru (PPG) sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf d, dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang hingga saat ini belum juga diterbitkan dan digantikan dengan Permendiknas yang juga masih berupa draf (bisa didownload di www.dikti.go.id).

Dalam hal penetapan peserta sertifikasipun mengalami perubahan, sebagai contoh penjaringan bakal calon peserta sertifikasi tahun 2012 ini yang telah dilakukan dengan berdasarkan database NUPTK per tanggal 30 September 2011 dan secara online dapat diakses melalui website www.sergur.pusbangprodik.org. Daftar bakal calon peserta sertifikasi guru tersebut diurutkan berdasarkan kriteria berturut-turut mulai dari usia, masa kerja, dan golongan. Ini berbeda dengan tahun sebelumnya, di mana daftar calon diurutkan berdasarkan kriteria berturut-turut mulai dari masa kerja, usia, pangkat/golongan, beban kerja, tugas tambahan dan prestasi kerja (Buku Pedoman Penetapan Peserta Sertifikasi Guru Tahun 2011).

Selain itu, beberapa pasal belum jelas bentuk implementasinya, khususnya pasal yang mengatur kualifikasi pendidikan dan pemberian tunjangan profesi. Dalam Pasal 8, 9 dan 10 disebutkan bahwa guru wajib memiliki (1) kualifikasi akademik yang diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat, (2) kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, dan (3) sertifikat pendidik. Dari sini timbul pertanyaan, apakah lulusan dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) tidak mempunyai kompetensi pedagogik, sehingga harus diperoleh lagi melalui pendidikan profesi? Lalu apakah ada jaminan bahwa pendidikan profesi yang dimaksud lebih baik dalam model, isi/materi pendidikannya?

Program sertifikasi lebih tepat ditujukan kepada mereka yang masih berstatus calon guru ataupun guru yang belum memenuhi kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan yakni minimal diploma empat. Pasal 12 menyebutkan bahwa setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu. Hal ini bukankah bertentangan dengan persyaratan umum yang dipersyaratkan pada penjaringan bakal calon peserta sertifikasi guru tahun 2012 ini? Disebutkan salah satu persyaratannya adalah bahwa sudah menjadi guru pada saat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ditetapkan (30 Desember 2005). Sudah menjadi guru, setelah mengikuti sertifikasi guru dan mendapatkan sertifikat pendidik, memiliki kesempatan diangkat menjadi guru? Aneh bukan? Pasal 12 ini sebenarnya telah mengindikasikan bahwa sertifikat pendidik itu sebaiknya diberikan kepada calon guru, bukan kepada orang yang sudah menjadi guru.

Kemudian Pasal 16 menyebutkan bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Dengan demikian seorang guru atau dosen yang telah memperoleh sertifikat pendidik, akan mendapatkan penghasilan yang terdiri dari: (1) gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji, (2) tunjangan fungsional, dan (3) tunjangan profesi. Disamping itu, guru akan menerima tambahan penghasilan lain dalam bentuk tunjangan khusus bagi mereka yang bertugas di daerah khusus. Upaya pemerintah untuk menaikkan gaji guru dalam bentuk pemberian tunjangan profesi ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja guru seperti halnya yang dilakukan pemerintah ketika menaikkan gaji pejabat atau anggota dewan, yaitu untuk meningkatkan kinerja pejabat atau anggota dewan serta untuk menghindari adanya penyalahgunaan wewenang dalam bentuk praktek KKN (kolusi, korupsi, nepotisme). Namun bedanya, untuk menaikkan gaji pejabat dan anggota dewan tidak perlu melalui persyaratan khusus harus mempunyai sertifikat pejabat/anggota dewan seperti halnya yang harus dilalui guru (melalui program sertifikasi guru). Sedangkan jika dibandingkan dari segi pendapatan, gaji seorang anggota dewan di tingkat pusat (DPR RI) untuk satu bulan yang bisa mencapai Rp 51,5 juta (kompas.com) bisa dipakai untuk membayar gaji sebanyak 30 orang guru.

Sertifikasi guru lebih terkesan sebagai sebuah ketidakpercayaan baik terhadap guru ataupun LPTK yang merupakan lembaga resmi yang diakui pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan untuk mendidik calon-calon tenaga guru. LPTK telah mengeluarkan 2 (dua) buah sertifikat, yaitu Ijazah dan Akta (untuk program S1 berupa ijazah sarjana dan akta IV). Dengan demikian, kalau seorang guru yang telah memiliki ijazah sarjana (S1) dan Akta IV alumni dari suatu LPTK, kemudian kepadanya diharuskan lagi memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui pendidikan profesi, apakah ini bukan suatu bentuk ketidakpercayaan baik terhadap guru ataupun terhadap LTPK itu sendiri? Lagi pula, apakah sertifikat pendidik lebih tinggi derajatnya/kualitasnya/nilainya dibanding Ijazah dan Akta IV? Kalau demikian halnya, untuk apa Ijazah dan Akta itu dikeluarkan oleh LPTK? Bukankah LPTK itu sebenarnya adalah suatu lembaga profesi yang tujuan utamanya adalah mendidik calon-calon guru untuk menjadi guru yang profesional?

Terlebih lagi, pendidikan profesi itu hanya dilakukan dalam waktu singkat, misalnya 10 (sepuluh) hari pelatihan. Kemudian peserta diuji kompetensinya melalui tes dalam bentuk soal-soal pilihan ganda atau hanya mengukur aspek kognitif yang bersifat instan, lalu dikeluarkan keputusan bahwa kepadanya dinyatakan lulus dan diberikan sertifikat pendidik. Dan gurupun bahkan cukup puas bisa mendapatkan selembar sertifikat tersebut karena dengan begitu tambahan penghasilan sebesar satu kali gaji pokok sudah menanti di depan mata. Jika demikian pelaksanaannya, tidak menutup kemungkinan bahwa sertifikat pendidik itu nantinya hanya bersifat formalitas/legalitas guna mendapatkan tunjangan profesi bagi guru. Apa yang pernah disindir oleh budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam tulisan oples (opini pelesetan) bahwa negara kita memang negara kertas adalah benar. Segalanya diukur dari kertas sertifikat yang dimiliki dan bukan kompetensi yang melekat. Maka tidaklah mengherankan apabila mutu pendidikan kita masih kalah dibandingkan dengan negara lain.

Hingga saat ini, juga masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah bahwa sertifikasi guru adalah jaminan peningkatan professional ataupun kualitas guru setelah guru tersebut menerima sertifikat pendidik. Sudah cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa pemberian in service training kepada guru dalam bentuk kegiatan pelatihan/workshop/penataran dalam waktu relatif singkat dan sifatnya demonstratif tidak cukup signifikan meningkatkan kinerja, kualitas maupun profesionalisme guru. Banyak guru setelah mengikuti kegiatan pelatihan/penataran kemudian kembali ke sekolah tidak mampu berbuat banyak, bahkan mereka kembali mengajar seperti biasa tanpa adanya usaha inovatif dan kreatif untuk mengaplikasikan ilmu atau pengetahuan yang diperolehnya dari kegiatan pelatihan/penataran. Mengapa demikian, berbagai alasan klasik sering mereka kemukakan di antaranya tidak tersedianya sarana dan prasarana pendukung di sekolah, tidak adanya biaya, jumlah siswa terlalu banyak, input siswa rendah dan sebagainya.

Dengan demikian, apabila pemerintah dengan tulus berkeinginan memberikan tunjangan profesi kepada guru, maka saya lebih setuju persyaratannya bukan pada sertifikat pendidik, tetapi lebih memperhitungkan pada: (1) Kualifikasi Pendidikan, (2) Masa Kerja, dan (3) Jenjang Kepangkatan/Golongan guru. Sehingga Pasal 16 sebaiknya direvisi menjadi: Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki: (1) Kualifikasi pendidikan minimal diploma empat, (2) Masa kerja sekurang-kurangnya 5 tahun, dan (3) Memiliki kepangkatan minimal Golongan ruang III/c.

Dengan memperhitungkan ketiga persyaratan tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi bahan pertimbangan untuk memberikan tunjangan profesi kepada guru. Ini akan lebih realistis dan tindakan yang lebih adil daripada harus memperoleh sertifikat pendidik melalui model penilaian ataupun pendidikan profesi tersebut. Apabila hal ini dilakukan berarti guru mendapatkan tunjangan profesi atas pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan pengalaman kerja dan kualifikasi pendidikannya, dan hal itu tentu mengalami proses yang harus ditempuh oleh seorang guru sebagai wujud nyata dari pengabdian yang dilakukannya dalam jabatan/profesinya.

0 comments:

Post a Comment